Sunday, September 13, 2009

Energi Alternatif : Tuak dan Rambut

/Home/Sains/Lab Energi Alternatif dari Minuman Tuak Kompas/Agnes Swetta Pandia Ilustrasi penjual air dari pohon Nira atau Aren

/

Minggu, 6 September 2009 | 07:52 WIB

TUBAN, KOMPAS.com — Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tuban, Jawa Timur, mengembangkan minuman tuak menjadi etanol yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar minyak (BBM).

“Uji coba yang kami lakukan mendapatkan tanggapan positif masyarakat. Buktinya mereka datang untuk mempelajari proses pembuatan tuak menjadi etanol,” kata Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Pemerintah Kabupaten Tuban Mudji Slamet.

Menurut dia, anggota masyarakat, kepala desa, tokoh masyarakat yang daerahnya menjadi sentra penghasil tuak yang asalnya dari pohon nira, antara lain di Kecamatan Plumpang, Palang, Tambakboyo dan lainnya, datang langsung ke kantornya untuk ikut mempelajari pemrosesan tuak menjadi etanol.

Uji coba tuak menjadi etanol hingga sekarang ini masih terus dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang ingin mempelajari teknis cara pemrosesannya. “Pelaksanaan uji coba dilaksanakan di kantor kami,” katanya.

Teknisnya, tuak sebanyak 10 liter dicampur dengan gula jawa, setelah dilakukan fermentasi selama tujuh hari dan disuling, menghasilkan 2 liter etanol.

Menurut dia, biaya produksi tuak 10 liter tersebut diperhitungkan sebesar Rp 15.000 dan menjadi 2 liter etanol yang harga jualnya mencapai Rp 17.500.

“Pengembangannya bergantung masyarakat sebagai penghasil tuak di Tuban, ” katanya. Di Tuban terdapat sekitar 4.000 pohon nira yang hasilnya bisa diambil menjadi tuak.

Sementara itu, lanjutnya, Bupati Tuban Haeny Relawati merekomendasikan agar proses uji coba tuak menjadi etanol masuk dalam kurikulum pendidikan.

“Setelah uji coba yang kami lakukan, rekomendasi dari Bupati Tuban, proses tuak menjadi etanol masuk dalam mata pelajaran kurikulum lokal,” katanya.

BNJ

Sumber : Antara

/Home/Sains/Lab Ciptakan Energi Alternatif Lewat Rambut Ilustrasi.

/ Artikel Terkait:
  • Energi Alternatif dari Minuman Tuak

Minggu, 13 September 2009 | 13:25 WIB

KATHMANDU, KOMPAS.com-Penelitian tentang pembuatan energi yang murah, hemat dan ramah lingkungan terus dikembangkan. Seperti yang dilakukan Milan Karki (18). Remaja yang tinggal di sebuah desa di Nepal. Ia menemukan tipe panel solar baru yang terbuat dari rambut manusia. Dan ia meyakini penemuannya merupakan solusi untuk pemenuhan energi dunia.

Dituturkan Milan, rambut sangat mudah digunakan menjadi konduktor dalam sebuah panel solar dan bisa memperbarui energi yang dikeluarkannya.

“Awalnya saya ingin menyediakan listrik di kediaman saya, lalu di desa tempat tinggal saya. Kini saya berpikir untuk seluruh dunia,” ujar Milan yang bersekolah di ibukota Kathmandu.

Dijelaskan Milan, rambut tersebut menggantikan silikon, yang komponennya hampir sama digunakan pada panel solar. Artinya panel bisa dibuat dengan biaya rendah bagi mereka yang memiliki sambungan listrik.

Di Nepal, banyak area pedesaan yang tidak memiliki sambungan listrik. Meski di beberapa tempat sudah diterangi listrik, namun pemakaiannya hanya dibatasi 16 jam per hari. Nah, awalnya Milan dan empat temannya membuat panel solar tersebut sebagai sebuah percobaan. Mereka meyakini penemuan ini bisa diaplikasikan dan berkembang lebih lanjut.

“Saya mencoba memproduksinya secara komersial dan mendistribusikan di wilayah tempat tinggal saya. Saat ini tengah dilakukan percobaan agar bisa diketahui segala kemungkinannya,” jelas Milan.

Solar panel tersebut menghasilkan energi sebesar 9 V (18 W), dan untuk membuatnya butuh biaya sekitar Rp 379.500. Tapi jika diproduksi secara missal, menurut Milan, harga jualnya bisa mencapai separuh atau bahkan seperempat dari modal awal yang diperlukan untuk membuatnya.

Melanin, pigmen yang memberikan warna pada rambut, sangat sensitif terhadap cahaya. Ia juga bisa berfungsi sebagai konduktor. Apalagi rambut jauh lebih murah dibanding silikon, sehingga biaya untuk membuatnya bisa diminimalisir. Solar panel ini juga bisa untuk mengisi baterai ponsel maupun penyedia listrik sepanjang malam.

Milan mulai tertarik dengan bidang elektronika ketika ia masih kanak-kanak. Waktu itu ia tinggal Khotang, sebuah wilayah pedalaman di Nepal yang tidak tersentuh listrik sama sekali. Ketika ia menemukan panel solar tersebut, warga desa banyak yang meragukan keberhasilannya.

“Mereka lebih percaya keajaiban dibanding pengetahuan. Namun mereka kini percaya,” kata Milan.

Untungnya pihak keluarga terus mendukung keyakinan yang dimilikinya. Maklum saja, latar belakang keluarga Milan berasal dari kalangan terdidik. Sementara warga desa lainnya tidak mendapat pendidikan yang layak, bahkan dipaksa bekerja sejak anak-anak.

Milan mengaku penemuannya terinspirasi buku Stephen Hawking yang dibacanya. Dalam buku tersebut dijelaskan cara membuat energi statis dari rambut. Dan ia pun tergoda untuk mencobanya. “Ini merupakan solusi mudah atas krisis energi yang kami alami saat ini. Yang terpenting sekarang memikirkan masa depan sembari menjaga bumi ini tetap hijau dengan menggunakan bahan-bahan alami,” tegasnya. mail/tis

[Via http://jakarta45.wordpress.com]

No comments:

Post a Comment